Jumat, November 28, 2008

Kang Jesus

Baru juga dicium pipi kanan kiri, tiba-tiba pundakku terasa basah oleh air.

Begitu kubalikkan tubuh sahabatku ini, ketahuan deh ternyata dia sedang menangis. Rasanya sih sudah dari tadi. Tapi, berhubung akan bertemu denganku, dia tahan-tahan.

Wajahnya yang putih, mendadak bersemu merah.

Langsung saja kuusap wajah mulusnya sembari membiarkan dia menenangkan diri dahulu.

”Ada apa?” tanyaku pelan.

Sahabatku nggak langsung jawab. Dia mengambil nafas panjang dahulu. Mata indahnya kemudian menatapku lama seperti ingin memastikan bahwa aku akan mendengarkan segala keluh kesahnya dengan baik.

”Aku! Aku! Aku menyerah dengan situasi keluargaku,” jawabnya sedikit lirih.

Aku menatapnya sebentar. Di otakku sudah mulai menebak-nebak dengan kalimatnya barusan. Akh! Jangan berburuk sangka dulu sebelum mendapat penjelasan langsung darinya. Kutuntun dia duduk.

Kami pun duduk bersebelahan. “Ceritalah. Apa yang sebenarnya terjadi.”

Sekali lagi sahabatku itu menarik nafas.

”Aku ingin, Aku ingin, Aku ingin bercerai dengan suamiku.”

”Hah?!” spontan aku kaget. Bagaimana tidak, bukankah itu sebuah kalimat yang harusnya tidak pernah diucapkan dalam hubungan perkawinan? Dalam Kitab Suci pun sudah diterangkan tentang hal itu. “Yang bener?!”

Kepala sahabatku itu mengangguk lemah. “Bener. Sebenarnya sudah lama hal ini akan aku lakukan. Tapi, baru kali ini aku berani. Selama ini, aku dan suamiku pun sudah pisah rumah.”

Kugeleng-gelengkan kepala.

Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?

Bukankah sahabatku dan suaminya serta sepasang putra putrinya yang sehat adalah keluarga yang harmonis? Mereka adalah pasangan yang beruntung karena bisa mencapai banyak kebahagiaan dan kemapanan di usia muda sementara banyak orang tak semujur mereka.

Aku jadi tak habis pikir.

”Sekian lama pernikahan kami ternyata justru membuat kami sadar bahwa kami sebenarnya belum menjadi manusia seutuhnya. Masih banyak hal-hal yang mestinya bisa kami selesaikan dengan baik. Ada bagian dalam diri kami yang belum mampu membuat kami sadar tentang arti hidup yang sebenarnya. Rupanya kesadaran ini kami lihat dari sudut yang berbeda. Dicoba satukan, kok susah. Malah menimbulkan inisiatif lain yang gak ada hubungannya. Meski ada anak-anak yang yang menjadi second opinion kami jika pertentangan itu kian merentang tak jelas, rasanya pada akhirnya kami harus mengakui bahwa kami memang tidak cocok lagi satu sama lain.”

Kali ini aku yang menarik nafas.
Terasa berat.
Kalimat panjang itu keluar begitu saja dari mulut sahabatku.

”Lalu, apa keputusan kalian?”

Sahabatku memain-mainkan tangannya. “Ya, dalam tahun ini kami akan berpisah secara baik-baik. Kami akan bercerai.”

Oh God.
Kalimat terakhir sebenarnya tidak ingin aku dengar lagi.
”Tapi, Gereja kan nggak memperbolehkan itu terjadi?”
”Kami bercerai secara sipil kok..”
”Tapi, apakah kalian akan tetap menjadi pengikut Kristus?”
”Masih dong. Kami akan tetap rajin ke gereja.”

Kukatupkan mata.

Enak bener ya manusia memberi peraturan sendiri-sendiri sesuai kondisinya, batinku. Padahal kalau semua dinalarkan, bagaimana dengan hati nurani itu sendiri yang kadang tak mampu terjelaskan, tapi diyakini untuk kemudian diimankan?

Dalam otakku sekilas muncul 2 anaknya yang sedang lucu-lucunya itu. Akankah mereka menjadi korban yang tidak tahu apa-apa?

”Selamat siang. Damai sejahtera bagi kalian,” suara lembut terdengar di telinga kami. Spontan kepalaku mendongak. Begitu pula sahabatku.

Laki-laki berjubah panjang putih dengan jenggot rapi masuk ke dalam ruangan. Senyum indahnya itu berkembang seperti kanvas mengulas seruas ruangan beserta isinya. Berasa lebih segar dan menenangkan hati.

Ah, si Akang satu ini tepat sekali datang kemari.

”Selamat siang, Kang. Apa kabar?” jawabku sambil mengulurkan tangan. Senang sekali melihat Dia yang selalu membawa damai itu.

”Baik-baik. Kamu gimana?” Kang Je menganggukkan-anggukkan kepala.

”Baik juga, Kang.” Aku tersenyum senang. Kulirik sebelahku, sahabatku itu seperti cuek saja, tidak bereaksi akan kedatangan Kang Je. Aneh.

”Kenalkan sahabatku, Kang!” aku menunjuk ke sampingku.

”Ya, Aku tahu. Gimana dengan bisnis barumu? Sudah menunjukkan hasil?” Mata Kang Je mengarah pada sahabatku itu.

Sahabatku rada kikuk. Dia menatap Kang Je aneh. “Bisnisku lancar. Yah, biar belum terlalu terlihat hasilnya.”

”Lalu, bagaimana dengan karir suamimu? Sudah menjadi pejabat penting nampaknya?”

”Yah, begitulah,” sahabatku mengangkat tangan. Malas-malas menjawab.

”Tadi aku bertemu dengan dua orang anak yang lucu-lucu. Mereka sekolah diantar oleh supirnya. Ketika kutanya kenapa bukan Papa Mamanya yang mengantar? Mereka menjawab Papa Mamanya sudah tidak serumah lagi dan sibuk.”

Aku dan sahabatku saling berpandangan.

”Sebelum masuk ke kelasnya, mereka berdua sempat ke Kapel kecil yang ada di dalam kompleks sekolahannya. Aku sempat pula mendengar doa khusuk mereka di depan patung Bunda Maria. Mereka berdoa agar BundaKu itu mau mengajak Papa Mamanya kembali bersama sehingga bisa kembali bergantian mengantar jemput mereka sekolah. Aku terharu mendengarnya.”

Ada yang mendesir di dada begitu mendengar cerita Kang Je barusan.Aku bisa merasakan kesedihan dan keinginan kuat dari kedua anak kecil itu. Mereka pasti polos dan tulus mendoakannya.

Kulirik ke sampingku. Sahabatku itu membuang muka. Dia menatap ke luar. Sepertinya tidak ingin mendengar cerita Kang Je barusan.

”Dua anak kecil lugu itu sebenarnya tidak bersalah apa-apa. Mereka cuma korban dari apa yang terjadi pada Mama Papanya. Padahal kalau mereka tahu, ketika Mama Papanya dulu sepakat bersatu, keduanya pernah berjanji di hadapanKu untuk tidak diceraikan oleh alasan manusia. (Mrk 10:9). Kalimat itu sangat lancar diucapkan oleh Mama Papanya saat itu. Aku ingat betul itu.”

”Tapi, dalam perjalanannya kan ternyata ada banyak hal yang di luar dugaan selama ini. Biar bagaimana pun mereka adalah dua manusia yang berbeda, yang masih bisa berkembang lahir batin, yang punya banyak keinginan dan kehendak bebas untuk menyempurnakan hidupnya,” bantah temanku tiba-tiba. Nampaknya ada sesuatu yang mengena di hatinya sehingga ia seperti sedikit garang begitu.

Aku diam saja.

”Betul. Aku sangat memahami hal itu. Tapi, bukankah kalian dipertemukan justru untuk saling melengkapi? Kalian dipertemukan dan diberi tambahan anggota agar bisa saling mendukung proses hidup selanjutnya? Mengapa egomu tak mampu melihat hal-hal baik yang sudah Kutunjukkan selama ini? Ataukan rasa syukur sudah semakin jauh dari mulutmu sehingga kamu tidak takut padaKu lagi?”
(Ef 5:20-21)

Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Satu pihak apa yang dikatakan Kang Je barusan jelas benar, di lain pihak aku mencoba mengerti pula kondisi sahabatku yang sedang bersedih sekarang.

Tapi, apa pun yang terjadi sekarang pasti Kang Je ingin mengutarakan sesuatu buatku. Sesuatu tentang rahasia hidup yang mungkin saja belum pernah aku rasai, namun bisa menjadi masukan berarti buatku kelak. Semoga yang buruk tak terjadi padaku nanti.

Pelan Kang Je mendekati sahabatku yang masih memandang ke luar. Acuh tak acuh.

Ditepuknya tak keras pundak sahabatku itu. Meski tak ada tanggapan atau reaksi, Kang Je tetap memberi senyum panjangnya.

Kalau aku yang diperlakukan seperti itu, pasti aku akan senang sekali.

Itu hal yang paling membahagiakan, boleh diberi senyuman oleh orang sekaligus Allah.

”Dunia boleh berubah, anakKu. Tapi, setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana..” (Mat 7:24)

”Pulanglah, kembalilah pada keluargamu. Lihatlah cinta kasih yang banyak dilimpahkan oleh suami dan anak-anakmu. Jadikan itu penguat diri dan hidupmu sepanjang waktu.”

Tiga kali Kang Je menepuk bahu sahabatku itu. Seperti hendak menguatkan.

”Dan, engkau anakKu, ingatlah bahwa manusia mempunyai salibnya sendiri-sendiri. Janganlah takut karena engkau pasti dapat melaluinya asal itu bersamaKu.”
Kang Je melempar kalimat ini dengan pandangannya padaku. Maka, segera kuanggukkan kepala.

”Terima kasih, Kang. Akan kuingat itu."

Tak lama, langkah kaki Kang Je menuju keluar.

Sebelum benar menjauh, seperti biasa berkatnya terlimpah bagi kami dan ruangan tempat kami berdiskusi ini.

Mendadak sahabatku itu mendekati dudukku. Ia sedikit berbisik ke telingaku.

”Itu tadi siapa? Kok kayaknya sangat mengerti aku dan keluargaku?”

Aku memandangnya tak percaya. “Kamu nggak tau siapa Dia?”

Kepala sobatku itu menggeleng keras.

”Oalah, kamu nggak kenal Kang Je?”

”Kang Je sapa?” sobatku itu makin nggak mengerti.

”Lha, kepada siapa selama ini kamu mengadu? Kepada siapa selama ini kamu meminta? Kepada siapa juga dua anak tadi berharap orang tuanya kembali baik seperti semula?”

Sobatku memandangku tajam. Mulutnya sedikit terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi ragu-ragu.

”Dia yang selalu ada bahkan dalam kondisi kamu merasa tidak mempunyai siapa-siapa lagi yang mengerti dirimu.”

”DiĆ¢, Dia, Kang-kang…”

Kepalaku mengangguk-angguk. “Dia Kang Je. Dia yang mengadakan banyak hal termasuk mengadakan kehadiran suamimu dan anak-anakmu.”

”Oooohhh…” sahabatku terlemas dalam duduknya. Rasanya dia menyesal sekali. “Bagaimana mungkin aku tak mengenalNya?”

”Karena sekarang kamu hanya bergelut dengan pikiran dan dirimu sendiri. Nggak membiarkan Dia masuk, memberi bantuan pemecahan atas masalahmu.”

Kelopak mata sobatku itu mengatup. Raut mukanya berubah sekali.

Dia benar-benar menyesal.

Dari kejauhan, samar-samar kulihat Kang Je masih berdiri memandang kami di sini.

Dari kejauhan itu dia memicingkan sebelah mata sambil mengacungkan jempolnya.

Ah.

Dia memang tidak akan pernah jauh dari anak-anakNya
(terima kasih untuk tidak jauh dariku, Kang Jesus.....)

(penulis: anjar, diambil dari www.ekaristi.org)

Tidak ada komentar: