Jumat, April 24, 2009

Minta Tolong

Seorang gadis kecil berpakaian kumal menenteng sebuah lukisan bergambar bunga. Ia berjalan ke sana ke mari menawarkan lukisan itu kepada orang-orang yang kebetulan lewat. Harga lukisannya (hanya) Rp. 20.000,-. Namun hingga sore menjelang, lukisan itu belum juga laku terjual. Kebanyakan orang yang ditawari lukisan itu hanya menggeleng sambil berusaha cepat-cepat menghindar. Padahal ayahnya yang lumpuh, yang berada di pojok jalan tengah menanti uang hasil penjualan lukisan itu. Uang yang akan dipergunakan untuk mencari sesuap nasi bersama sang anak.

Ketika malam hendak datang, dengan sisa-sisa kegigihannya yang hampir lenyap, gadis itu menemui seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan. Kembali ia menawarkan lukisannya. Segera ibu itu merasa terenyuh. Tanpa berpikir panjang, ibu itu segera mengulurkan uang untuk membeli lukisan tersebut. Sesaat setelah gadis kecil itu pergi, datanglah gadis lain yang hendak membeli gorengan. Setelah gorengan diterima, gadis itu mengambil segepok uang lalu memberikan uang tersebut kepada si ibu. Dan gadis itu pun pergi. Si Ibu yang tidak menyangka akan menerima uang dalam jumlah yang besar hanya bisa melongo keheranan… uang apa ini? Lalu, ibu itu pun menangis sesenggukan sambil bersujud penuh syukur.

Cerita di atas hanyalah sepenggal episode reality show yang tayang di sebuah stasiun televisi swasta. Nama reality show itu adalah MINTA TOLONG. Gadis kecil dan kakek yang lumpuh adalah ‘umpan’ yang sengaja dipasang untuk mengetahui reaksi orang-orang ketika melihat mereka minta tolong. Apakah orang-orang terbuka hatinya dan memberi pertolongan kepada mereka?

Kiranya reaksi orang-orang yang terjadi dalam reality show tersebut adalah wajah keseharian kita. Kita sering tanpa sadar (dengan sadar?) menolak memberikan bantuan ketika ada orang lain yang datang kepada kita untuk meminta tolong. Dalam pikiran kita sering dibayangi hal-hal yang cenderung negatif. Apakah orang ini memang benar membutuhkan pertolongan? Apakah dia tidak hanya berpura-pura saja? Atau jika kita bersedia memberi pertolongan, kadang kita suka pilih-pilih. Yang berpakaian bagus dan secara fisik bagus, cepat kita tolong tetapi yang berpakaian kumal dan lusuh seperti dalam cerita di atas cenderung kita jauhi dan kita anggap sebagai pengganggu. Semestinya kita merasa malu dengan ibu penjual gorengan itu. Meski hidupnya serba kekurangan hingga untuk membeli susu buat anaknya saja ia harus menjual HP, namun ketika ada orang yang datang minta tolong, nuraninya terusik. Sementara orang-orang yang lebih berada daripada dirinya hanya berpangku tangan dan memilih menolak memberikan pertolongan.

Nah, masihkah kita akan terus bersikap demikian? Masihkah kita menolak orang-orang yang datang untuk minta tolong kepada kita? Bukankah hal itu adalah kesempatan bagi kita untuk melakukan kebaikan? Percayalah, pada saatnya nanti setiap kebaikan yang sudah kita tanam, pasti akan kita tuai hasilnya!
(cahaya)

Sebuah Renungan Dalam Tangis

Seperti yang kita semua biasa ketahui, tangisan adalah ungkapan bahasa kesedihan yang mendalam dari batin seseorang. Terkadang dengan menangis orang sering berpikir bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu setelah mengungkapkan tangisan mereka. Entah kelegaan hati, kepasrahan, pengakuan terhadap keterbatasan dan kelemahan diri sendiri, pertolongan, atau mungkin pengharapan. Dengan menangis, manusia menunjukkan sisi kerapuhan dari batin dan diri mereka yang terkadang tumbang oleh keadaan kehidupan di dunia yang keras, kejam, serba tak menentu dan penuh dengan kemunafikan.

Dalam tangis, terkadang manusia menyuarakan segala keluhan hidup yang dialaminya. Segala kesesakan hidup yang menghimpit, kepiluan batin yang seakan tak pernah mereda, kekesalan terhadap semua permasalahan hidup, kekecewaan yang mendalam terhadap jalan hidup yang serasa terlalu berat untuk dijalani. Hingga saat keteguhan hati tak mampu untuk menopang semua itu, suara jeritan hati pun menyeruak di sela-sela tangisan. Kadang terisak, pelan dan dalam. Kadang tercekat dalam kerongkongan seakan terkalahkan oleh beban batin yang terlalu besar. Terkadang bahkan manusia menjerit karena merasa batinnya teramat perih, lemah dan payah.

Kadang saat menangis, setiap kita selalu merasa bahwa kita sedang tertimpa kemalangan besar dari Tuhan. Tanpa sedikitpun menyadari bahwa dalam tangis pun, Tuhan sedang berada di samping kita. Melihat setiap tetes air mata kita yang jatuh ke tanah. Melihat bahu kita yang pelan terguncang saat menangis, dan terangkat saat kita menghela nafas. Mengerti gambaran perasaan kita dalam isakan tangis. Memahami tiap-tiap bahasa tubuh kita dalam gerak yang lemah.

Saat larut dalam tangis sedih, dengan tubuh membungkuk dan kedua telapak tangan menutupi muka yang basah oleh air mata. Terkadang kita tidak menyadari jika Tuhan sedang duduk di samping kita, melingkarkan sebelah lengan-Nya untuk menopang dan menguatkan kita. Sementara sebelah lengan-Nya yang lain memegang kepala kita untuk bersandar pada-Nya. Seperti seorang sahabat yang memberi topangan bahu pada sahabatnya yang sedang bersedih, dan seperti orang yang kuat yang selalu memberi perlindungan pada yang lemah.

Sebelum air mata mulai menetes, Tuhan ada di samping kita. Menatap kita dan berkata “… jangan menangis… ”. Sebelum kita terisak dalam tangis hingga kita mengangkat tangan untuk menutup mulut, Tuhan ada di samping kita sambil menyentuh bahu kita dan berkata “… jangan bersedih… “. Sebelum kita menghela nafas dalam tangis, Tuhan menyentuh bahu kita dengan tersenyum manis dan berkata “… jangan khawatir… “. Sebelum pandangan mata kita mulai kabur karena air mata yang penuh membanjiri kedua bola mata kita, lalu kita mulai mengangkat tangan untuk mengusap air mata, Tuhan ada di samping kita dan berkata “… jangan takut… “.

Segala sesuatu yang Tuhan lakukan pada kita saat kita sedang bersedih, adalah untuk menunjukkan pada kita bahwa kekuatan dalam hidup adalah keyakinan dan pengharapan. Entah keyakinan dan pengharapan dalam apapun itu, dalam doa, dalam perjuangan segala usaha, dalam menempuh masa-masa pahit kehidupan, bahkan dalam keterpurukan sekalipun. Dan agar setiap kita selalu yakin terhadap janji Tuhan kepada kita. Dalam kelegaan sesudah tangis, masing-masing kita akan menemukan pengharapan baru melalui penyertaan Tuhan dalam hidup kita. Seperti kegelapan malam yang berakhir dengan hadirnya sinar mentari di pagi hari.

Berharaplah…, karena dengan berharap manusia dapat selalu meneguhkan batinnya untuk terus menjalani segala sesuatu dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan selalu beserta kita dalam keadaan apapun.
(rani)