Jumat, Desember 19, 2008

SURAT SI ANAK DESA KEPADA YESUS

Jakarta, 1 Januari 2003.

SAHABATKU Yesus,

Kami baru saja selesai merayakan hari Natal-Mu yang ke 2002. Kali ini aku diundang pamanku ke Jakarta. Begitu mewah pesta Natal disini. Sepatu kickers seharga Rp.300.000,- yang kuterima sebagai hadiah Natal dari pamanku, enggan aku memakainya. Dengan harga sepatu ini, sudah cukup untuk makan kami sekeluarga sebulan, di desa.

Di malam tutup tahun aku diajak oleh pamanku yang kaya ini berpesta-pora di sebuah hotel termewah di ibu kota. Tahukah Kau sahabat, bahwa pamanku membayar Rp.400.000,- untuk tiket satu orang, sedangkan kami semuanya berjumlah 15 orang?

Sebagai anak desa yang baru pertama kali melihat keramaian Kota Jakarta, aku benar-benar tertegun, kagum tapi juga bingung. Betapa tidak? Dalam perjalanan kami menuju hotel di malam Tahun Baru itu, aku melihat puluhan anak-anak tanggung seusiaku yang menjual trompet kertas. Mereka basah kuyup ditimpa hujan, menggigil kedinginan berlindung di bawah pohon. Trompet kertas jualan mereka ditutupi dengan lembaran plastik agar tidak basah.

Karena hujan terus turun, nampaknya mereka pasti rugi, karena tidak ada pembeli. Selama pesta di hotel mewah itu, aku masih teringat kepada anak-anak sebayaku penjual trompet kertas. Mereka pasti kelaparan malam ini.

Bukankah mereka juga sahabat-sahabatmu, Yesus?

Teringat kepada mereka itulah, sekembaliku dari hotel, kutulis surat ini. Aku ingin bertanya kepadamu Yesus: Bisakah aku berterima kasih pada Tuhan bila hanya aku cukup pangan, sedangkan kawan sebayaku masih kelaparan?
Dapatkah aku berdoa: terima kasih Tuhan atas santapan mewah yang terhidang?

Bisakah aku memuji Tuhan bila hanya aku bersandang sutera, keluargaku bermobil banyak, berumah mewah, sedangkan sebayaku lainnya terlantar dengan telanjang tidur di kaki lima, di bawah kolong jembatan layang?
Masih dapatkah aku berdoa: terpujilah Tuhan karena segala kebaikan-Mu?

Bisakah aku memuliakan Tuhan bila hanya aku cukup gizi, beraga sehat, sedangkan kawan seusiaku menderita tbc, malaria dan muntaber tanpa kemungkinan mendapat obat?! Bisakah aku bersyukur kepada Tuhan bila hanya aku yang bebas, bertindak semauku tanpa tekanan, tanpa rintangan sedangkan begitu banyak mereka yang tertindas tak punya kesempatan untuk hidup layak?
Lalu haruskah aku berkata: terima kasih Tuhan, karena aku orang terpilih?

Ini bukannya surat cengeng, Yesus! Tapi aku tak habis mengerti: Mengapa orang-orang seperti pamanku itu membuang uang seenaknya, hanya demi kesenangan sekelompok kecil keluarga? Ah, aku kepingin cepat pulang ke desa tercinta. Jawablah surat ini Yesus, dan alamatkan ke desa kecilku di atas bukit. Kutunggu balasanmu,

Dari sahabatmu si anak desa.


Bethlehem, 7 Januari 2003.

SAHABATKU yang baik,
Tahukah Kau sahabatku, sewaktu Kau berada di Jakarta aku juga ada di sana?
Sewaktu Kau membuka bungkusan hadiah Natalmu, aku berdiri jauh di sudut gelap di bawah pohon asem di halaman rumah pamanmu. Kalian menyanyi dan menyebut namaKu, tapi aku sendiri tidak diundang masuk.

Sayang seandainya Kau hadir dalam perayaan Natal untuk para gelandangan di Senayan, pasti kita bertemu; karena aku ikut hadir di sana. Aku tahu kegelisahan yang menggeluti hatimu. Kau memang seorang sahabat yang baik, bahwa masih punya ingatan kepada orang lain yang kebetulan tidak seberuntung Kau.

Nah, dengarkanlah baik-baik pesanku: Kau diberi cukup pangan, bukannya untuk dirimu sendiri sehingga berbunga dalam kepongahan. Kau diberi kecukupan agar dibagikan kepada mereka yang berkekurangan; rezeki yang berkelimpahan, agar diteruskan kepada mereka yang lapar dan telanjang. Lalu mereka mengenal cinta Tuhan. Dan memuliakan Bapa di surga!

Kau memperoleh cukup sandang dan papan bukannya untuk bersantai di kursi bangga! Semua itu kau terima, agar mereka yang tak berdangau beroleh kehangatan lewat upayamu, pintu rumahmu, pelarian mereka yang menderita! Lalu mereka mengenal cinta Tuhan. Dan memuliakan Bapa di surga!

Kau cicipi kesehatan dan kebebasan bukannya untuk berbusung dada di keangkuhanmu; kau sehat, biar mampu menolong yang sakit, dan terlantar papa; Kau bebas, biar mampu berjuang bagi mereka yang tertindas. Lalu mereka mengenal cinta Tuhan. Dan memuliakan Bapa di surga!

Aku memilih kau jadi sahabatku bukannya supaya kau sejahtera sendiri di waktu kini dan kekekalan nanti. Kupilih Kau menjadi kawan sekerja untuk menyebar cinta di tengah dendam untuk membiak damai di tengah benci. Lalu mereka mengenal cinta Tuhan. Dan memuliakan Bapa di surga!

Salam hangat dari sahabatmu, Yesus.


Desa tak bernama, 14 Januari 2003.

YESUS yang baik,
Aku baru sehari kembali di desa, ketika suratmu tiba. Ai, begitu lega hatiku membaca pesanmu di alam terbuka tanpa polusi ini. Aku tidak mengeluh karena di sini tidak ada listrik, tapi aku berterima kasih padamu, atas sinar bintang yang lembut dan cahaya bulan yang begitu mesra.

Aku tidak mengeluh, karena di sini tidak ada orkes symphoni pimpinan Idris Sardi. Tapi aku berterima kasih padamu, karena begitu mesra terdengar konser burung di pepohonan.

Aku tidak mengeluh, karena di sini tidak ada TIM, Dufan, Taman Ria atau Taman Mini Indonesia Indah. Tapi aku berterima kasih padamu, atas bermekarannya anggrek hutan dan tarian bunga-bunga di lembah hijau!

Aku tidak mengeluh, karena di sini belum ada saluran air minum. Tapi aku berterima kasih padamu, atas air terjun dan sungai segar yang tidak pernah kering.

Aku tidak mengeluh karena di sini tidak ada telepon. Tapi aku berterima kasih padamu, karena aku bisa bercanda dengan sahabat-sahabatku.

Aku tidak mengeluh, karena di sini tidak ada hotel mewah. Tapi aku berterima kasih padamu, karena setiap rumah bersedia menampung siapa pun yang datang.

Aku tidak mengeluh, bahwa di sini kami masih miskin. Tapi aku berterima kasih, karena Tuhan menjadikan kami kaya, untuk mencintai setiap insan.

Bersama kau, Yesus, aku ingin mengabdi!
SahabatMu si anak desa.

Tidak ada komentar: